Malang, Metrosurya.com — Aroma ketidakadilan kembali menyengat dari lereng Bukit Waung, Desa Sumberoto, Kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang. Lahan yang sejak 2015 telah dikelola petani melalui skema legal Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS), kini diduga secara sepihak dikuasai oleh BUMDes tanpa musyawarah dan persetujuan warga pemegang hak.
Mengacu pada SK.948/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/3/2018, lahan Petak 117 H Bukit Waung telah resmi diserahkan kepada Kelompok Tani Hutan (KTH) Utama Wana Lestari yang diketuai oleh Siswadi. Bahkan, Presiden Joko Widodo secara simbolis menyerahkan hak ini pada 9 Maret 2018 di Tuban. Namun semangat “Hutan Subur, Rakyat Makmur” justru dikhianati oleh tindakan penggusuran paksa dan perusakan tanaman oleh pihak desa melalui BUMDes.
Warga menyebut penggusuran di Blok Kidul Kidul Kuburan sebagai tindakan brutal. Tanah digusur, tanaman dihancurkan, dan tanah dikupas untuk mencegah penanaman kembali. Yang lebih miris, Kepala Desa Sumberoto diduga juga merangkap jabatan sebagai Komisaris Utama Manajemen Wisata Bukit Waung Modangan—praktik rangkap jabatan yang jelas melanggar hukum dan etika pemerintahan.
Rendi, salah satu narasumber, mengungkapkan bahwa kasus ini sebenarnya telah dilaporkan ke Polres Kabupaten Malang. Bahkan, sejumlah korban telah menerima surat panggilan untuk dimintai keterangan.
"Panggilan pertama dilakukan pada 23 April 2024, dan saat itu ada sekitar tujuh orang yang dimintai keterangan oleh pihak kepolisian," ujarnya.
Namun, pada pemanggilan kedua yang dijadwalkan pada 13 Mei 2024, hanya tiga korban yang dijadwalkan hadir. Sayangnya, ketiganya urung datang karena diduga mendapat intimidasi dari beberapa oknum tertentu.
"Tiga korban tersebut tidak berani hadir karena mereka merasa tertekan dan takut akan adanya tekanan dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab," tambah Rendi
Praktisi hukum Dimas Aryo, SH., MM., mengecam keras peristiwa ini. “Ini bukan hanya konflik lahan. Ini bentuk penyalahgunaan wewenang dan potensi korupsi. Negara harus hadir, hak masyarakat harus dikembalikan,” tegasnya.
Menanggapi situasi ini, Ketua MAKI Jatim Heru menyampaikan sikap tegas.“Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Jawa Timur masih memberikan ruang mediasi selama 3x24 jam. Jika Kepala Desa dan BUMDes tidak membuka ruang musyawarah dengan warga pemegang IPHPS, kami akan bersurat kepada Bupati Malang untuk menutup total wisata Pantai Modangan. Status lahan harus dinyatakan status quo dan segala bentuk operasional wisata dihentikan sementara,” tegas Heru. Selasa, (15/05) saat di wawancarai awak media.
Heru menambahkan, jika mediasi gagal, MAKI Jatim akan mengusut tuntas riwayat kepemilikan dan pembangunan di kawasan wisata tersebut, serta meminta pertanggungjawaban penuh dari Bupati Malang yang turut menandatangani prasasti peresmian lokasi.
“Jangan jadikan rakyat kecil tumbal investasi. Kalau negara abai, maka rakyat akan bergerak bersama kami.” pungkasnya.
Sampai berita ini di naikan pihak pengelola pariwisata dan Kepala Desa serta Ketua BUMDes belum bisa di konfirmasi. Bersambung. (red)
Editor : redaksi