Keputusan Pelarangan Study Tour di Jawa Barat Bisa Dicabut

Metrosurya.com,Jawa Barat - Kabarnya kepala sekolah yang dipecat gara-gara melakukan study tour bukan hanya Kepala SMAN 6 Depok dan SMAN 1 Cianjur, tapi ada beberapa kepala sekolah lain. Pertanyaannya, apakah pemecatan ini sah secara hukum? Norma apa yang dilanggar oleh para kepala sekolah yang dicopot hanya gara-gara melaksaksanakan study tour?

Saya berani mengatakan pemecatan tersebut tidak sah secara hukum. Berikut penjelasannya.

Baca Juga: Jelang Mudik Lebaran 2025, Pemkot Cirebon dan Polres Cirebon Kota Gelar Ramp Check untuk Pastikan Keselamatan Penumpang

Seseorang diberi hukuman pidana karena perbuatan melawan hukum. Artinya, ada norma yang dilanggar. Misalnya melanggar norma yang diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana, UU Narkorba, UU Perdagangan Orang, UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), atau UU Pemberantaran Korupsi.

Seorang pejabat pemerintahan bisa dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena melanggar norma hukum administrasi pemerintahan.

Sedangkan pegawai negeri sipil (PNS) – yang tidak termasuk pejabat – bisa diberikan sanksi oleh atasannya ketika indisipliner, misalnya tidak masuk kerja lebih dari satu bulan tanpa kabar, seorang suami mempunyai istri kedua tanpa izin istri pertama dan atasan, dan aturan lain yang ada di UU ASN.

Perbuatan melawan hukum itu meliputi hukum pidana, perdata maupun hukum administrasi negara (HAN).

Dalam hukum pidana dan hukum perdata, perbuatan melawan hukum bisa dilakukan oleh semua subyek hukum secara personal (individual) atau lembaga.

Dalam wilayah hukum pidana, sekarang dikenal pertanggungjawaban korporasi. Artinya lembaga atau perusahaan sebagai subyek hukum bisa dikenakan pidana.

Kalau dalam hukum perdata sudah jelas, personal dan lembaga bisa dimintakan pertanggungjawabannya.

Lalu bagaimana dalam wilayah hukum administrasi negara? Berbeda dengan hukum pidana dan perdata, dalam HAN yang diminta pertanggungjawaban adalah pejabat tata usaha negara.

Subyek hukumnya bukan sebagai pribadi, tapi sebagai alat pemerintahan. Misalnya presiden, gubernur, bupati/wali kota, menteri atau para kepala instansi pemerintahan yang berwenang mempunyai kebijakan.

Pihak yang dirugikan bisa individual, baik dari kalangan pegawai negeri atau masyarakat luas, bisa juga lembaga perdata.

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi memecat kepala sekolah yang sekolahnya melaksanakan study tour berdasarkan pelarangan yang dia sampaikan kepada publik melalui media sosial.

Dalam hukum ada yang disebut sistem civil law dan common law. Civil law mengandalkan kodifikasi atau hukum tertulis, sedangkan common law berdasakan kebiasaan dan tidak tertulis. 

Civil law dianut oleh negara-negara Eropa karena warisan Romawi, sedangkan common law dianut oleh Inggris dan AS. Hukum di Indonesia merupakan warisan hukum kolonial Belanda, karena itu sistemnya civil law alias tertulis.

Salah satu prinsip negara hukum yang beraliran sistem hukum civil law adalah asas legalitas.

Menurut Ridwan HR dalam bukunya “Hukum Administrasi Negara”, asas legalitas mengandung makna setiap tindakan hukum pemerintahan harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau setiap tindakan hukum pemerintahan harus berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undanngan (Rajawali Pers, 2011).

Mari kita urut asal mula Dedi Mulyadi mengeluarkan kebijakan pelarangan itu. Dedi menegeluarkan kebijakan itu berdasarkan Surat Edaran Nomor: 64/PK.01/KESRA tentang study tour pada satuan pendidikan yang ditandatangani Pj Gubernur Jabar Bey Machmudin tanggal 8 Mei 2024.

Ada tiga poin dalam SE No 64 tersebut.  Pertama, study tour dilakukan di dalam kota di wilayah Jawa Barat dan bertujuan mendukung pertumbuhan ekonomi lokal di provinsi Jawa Barat.

Kedua, study tour memperhatikan asas kemanfaatan dan keamanan bagi siswa, guru, dan tenaga kependidikan dengan memperhatikan kendaraan dan jalur yang dilewati serta berkoordinasi dan mendapat rekomendasi dari dinas perhubungan kabupaten/kota terkait.

Ketiga, pihak satuan pendidikan yang akan melaksanakan study tour melakukan koordinasi dengan memberikan surat pemberitahuan kepada dinas pendidikan sesuai kewenangannya.

SE ini muncul pascakecelakaan study tour SMK Depok di Ciater yang menelan 11 orang siswa dan guru. Tindakan Bey Machmudin sebagai Pj Gubernur Jabar membuat SE sama sekali berbeda dengan tindakan Dedi Mulyadi yang melarang.

Bey masih memikirkan aspek jangka panjang yaitu pertumbuhan ekonomi dan sama sekali tidak mematikan sektor pariwisata.

Baca Juga: Polda Jabar Siapkan Opsi Tutup Rest Area Saat Arus Mudik

Surat Edaran era Bey Mahcmudin itu sifanya hanya himbauan kepada pihak sekolah dan yang berkepentingan dengan study tour, tak ada sama sekali pelarangan, apalagi mencantumkan hukuman atau sanksi bagi sekolah yang tetap menyelenggarakan study tour. 

Jadi secara substansi dan prosedur, SE yang dikeluarkan Bey Machmudin itu sudah tepat dan benar.  Sedangkan Dedi Mulyadi memperlakukan SE itu sebagai regeling atau pengaturan yang disertai sanksi.

Pada poin inilah kesalahan besar sang gubernur baru. Keputusan Dedi itu jelas mengandung dua cacat, cacat prosedur dan cacat substansi.

Jadi yang melanggar norma hukum justru gubernur.

Dedi Mulyadi sebagai gubernur mengeluarkan kebijakan yang sifatnya mengatur hanya berdasarkan lisan. Ini metode gitik rata alias gebyah uyah. 

Selain menyakiti para pendidik, juga mematikan pariwisata dan sektor jasa lainnya, menghambat pertumbuhan ekonomi sebuah daerah, termasuk Jawa Barat sendiri.

Kemudian tumpang tindih dengan kewenangan kabupaten dan kota yang mengatur pendidikan menengah dan dasar.

Kalau Dedi mau jadi pemimpin yang adil, sebaiknya segera mencari jalan keluar yang adil agar kalangan pendidik tidak tersakiti.

Ada dua jalan keluar dalam kasus ini. Sebagai gubernur Dedi berwenang mencabut atau membatalkan keputusannya.

Kedua, para kepala sekolah yang merasa dirugikan membawa persoalan ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk minta pencabutan atau pembatalan kebijakan tersebut.

Pasal 64 Undang-Undang No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menyatakan, keputusan hanya dapat dilakukan pencabutan apabila terdapat cacat: a. wewenang; b. prosedur; dan/atau c. substansi.

Baca Juga: Polres Indramayu Gelar Operasi Ketupat Lodaya 2025

Kalau kita telaah, gubernur memang mempunyai kewenangan dalam mengeluarkan keputusan, tapi tetap harus memenuhi asas legalitas dan asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) sesuai dengan pasal 5 dan pasal 6 ayat (2) huruf a UU No 30/2014. Prosedur dilalui dengan benar, substanti tidak menyimpang.

Daripada dicabut oleh PTUN, yang paling elegan adalah gubernur mencabut keputusannya sendiri.

Hal ini sesuai dengan asas dalam hukum administras negara, yaitu asas contrarius actus (pejabat berwenang mencabut/membatalkan keputusan tata usaha negara yang dibuatnya).

Kalau korban pemecatan menggugat ke PTUN dan gubernur kalah, akan menanggung malu dan terjadi ketegangan hubungan antara pejabat dan bawahannya.

Dedi tidak perlu gengsi mencabut keputusannya sendiri karena sudah diatur di dalam UU No 30/2014 tadi.

Win-Win Solution

Jalan keluar yang adil itu diharapkan jadi win-win solution, tidak ada yang terluka di kedua pihak. Setelah mencabut keputusannya, Dedi bisa menindaklanjuti SE No 64 itu dengan merumuskan sebuah pengaturan (regeling) mengenai study tour, dengan cara menerbitkan keputusan gubernur (Kepgub). Tentu tertulis.

Dalam merumuskan keputusannya, prosesnya melalui kajian dari berbagai aspek, seperti dampak ekonomi bagi pertumbuhan ekonomi wilayah, dampak bisnis bagi pariwisata, transportasi dan jasa lainnya, serta aspek keamanan dalam study tour. Tidak pukul rata bahwa study tour tidak bermanfaat.

Perumusan tersebut juga melibatkan semua pihak yang berkepentingan dengan study tour, mulai dari kalangan pendidikan, para kepala daerah, pelaku bisnis pariwisata, tokoh masyarakat, ahli pariwisata, ahli hukum, ekonom, dan tentu pakar pendidikan.

Apa pun sisi lemahnya sebuah keputusan gubernur, kalau perumusannya berdasarkan kajian komprehensif dan memenuhi asas negara demokrasi berdasarkan hukum, akan kredibel di mata masyarakat. Semua pihak dilibatkan dan didengar masukannya. Tidak seperti yang terjadi sekarang ini, gubernur malah memberi contoh melanggar norma hukum.

Nurhari

Editor : redaksi

Berita Terbaru

Jatim 1