METROSURYA.COM, PONOROGO – Praktik penambangan ilegal di Kabupaten Ponorogo tampaknya berjalan tanpa hambatan. Berdasarkan pantauan di lapangan, aktivitas tersebut terkesan aman-aman saja, memunculkan dugaan adanya keterlibatan pejabat dalam praktik ini. Kota yang terkenal dengan Reog itu disebut memiliki sekitar 18 titik penambangan, namun hanya tiga di antaranya yang mengantongi izin resmi.
"Dari total 18 lokasi penambangan, hanya tiga yang memiliki izin. Sedangkan 15 lainnya diduga ilegal," ujar salah satu sumber dari masyarakat.
Belum jelas apa penyebab utama maraknya praktik tambang ilegal ini dibiarkan tanpa tindakan tegas. Namun, pihak-pihak terkait, termasuk Bupati Ponorogo, Dinas ESDM Jatim, Gubernur Jatim, hingga aparat penegak hukum, tampaknya memilih bungkam dan terkesan menutup mata.
Padahal, keberadaan tambang ilegal ini tidak hanya merugikan keuangan negara hingga miliaran rupiah per tahun, tetapi juga berdampak negatif pada masyarakat sekitar. Banyak warga yang mengeluhkan rusaknya jalan akibat lalu lalang truk pengangkut hasil tambang yang diduga ilegal.
"Selain merusak jalan, alat berat seperti ekskavator yang digunakan dalam aktivitas ini diduga kuat memakai BBM bersubsidi," ungkap sumber yang enggan disebutkan namanya.
Dugaan pelanggaran ini jelas bertentangan dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang mengancam pelaku dengan hukuman penjara hingga 10 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar. Selain itu, penggunaan BBM subsidi dalam kegiatan ini juga melanggar Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dengan ancaman hukuman lima tahun penjara dan denda Rp6 miliar.
Tak heran jika muncul spekulasi di masyarakat bahwa ada aliran dana kepada oknum pejabat, dari tingkat bawah hingga atas, untuk melancarkan praktik penambangan ilegal ini.
Jika aparat penegak hukum, khususnya Polres Ponorogo dan Kejaksaan Negeri setempat, tidak turut menikmati keuntungan dari aktivitas ini, seharusnya penambangan ilegal di Ponorogo sudah ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku.
Namun, hingga saat ini, Kanit Tipiter Polres Ponorogo masih memilih bungkam saat dikonfirmasi wartawan mengenai persoalan ini. Padahal, penindakan terhadap tambang ilegal merupakan bagian dari program Asta Cita yang digaungkan Presiden RI Prabowo Subianto.
Kasus ini kembali menjadi bukti bahwa ketimpangan hukum masih terjadi di Indonesia. Aturan hukum tampak tajam ke bawah, namun tumpul ke atas. Rakyat kecil terus menjadi korban, sementara mereka yang memiliki modal seolah kebal hukum.
(Tim)
Editor : redaksi