Metrosurya.com, Lamongan - Beragam atraksi budaya disuguhkan dalam Festival Keleman Ke-3 di Desa @pemdes_moronyamplung @kecamatan_kembangbahu.lamongan , Senin (16/9/2024).
Keleman sendiri berasal dari bahasa Jawa Kelem yang artinya tergenang/genangan air saat mengairi sawah atau masyarakat setempat juga membahasakan dengan Wiwit Petik yang artinya mulai memetik. Tradisi Keleman juga tak lepas dari Tumpeng dimana bentuk kerucut di bagian atas nasi tumpeng merepresentasikan konsep ketuhanan. Puncak nasi tumpeng tersebut menjadi simbol dari harapan untuk kehidupan yang lebih baik bagi manusia.
Acara Keleman atau Wiwit Metik Moronyamplung kemudian oleh masyarakat dilakukan sebagai upaya untuk melestarikan warisan budaya yang sudah ada secara turun temurun sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT atas limpahan alam yang subur.
Festival tersebut dihadiri oleh Bupati Lamongan, Yuhronur Efendi, MBA, Sekda Drs. H. Muh Nasikan, M.M, Kepala OPD, Camat Kembangbahu, jajaran Forkopimcam, serta Kades Moronyamplung, Sri Rahayu Sunaringsih, S.Pd., beserta para kepala desa se-Kecamatan Kembangbahu. Festival ini diikuti oleh enam kelompok peserta, yaitu dari TK/SD/MI, RW 001 Nyamplung, RW 002 Nyamplung, RW 001 Kedungsari, RW 001 Moro, dan RW 001 Gampeng.
Sebelum festival dimulai, potong tumpeng dilakukan oleh Bupati Yuhronur Efendi bersama Kades Moronyamplung, Sri Rahayu Sunaringsih. Setelah itu, para peserta kirab diberangkatkan oleh Bupati Yuhronur dan acara dilanjutkan dengan berbagai sambutan.
Dalam sambutannya, Kades Moronyamplung, Sri Rahayu, menyampaikan, "Tradisi Keleman adalah warisan turun-temurun yang kami lestarikan sebagai bentuk upaya masyarakat dalam menjaga kesuburan lahan," ujarnya saat memberikan sambutan pada Festival Keleman, Senin (16/09/2024).
Sri Rahayu menambahkan, "Keleman adalah tradisi yang terus kami jalankan untuk melestarikan kearifan lokal, agar tetap hidup hingga generasi mendatang. Ini adalah wujud syukur para petani kepada Tuhan dengan harapan tanaman padi mereka terhindar dari hama dan penyakit, serta menghasilkan panen yang melimpah dan berkah. Tradisi ini juga mencerminkan rasa syukur masyarakat atas tersedianya air bersih, kesuburan tanah, dan hasil panen yang melimpah."
Tradisi yang telah berlangsung selama tiga tahun ini tidak hanya memukau ribuan penonton, tetapi juga menjadi cerminan kearifan lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi. "Kirab bukan sekadar ritual atau perayaan, tetapi momen sakral untuk menghormati leluhur, memohon berkah, dan mengungkapkan rasa syukur kepada Sang Pencipta," tambahnya.
Dalam setiap langkah peserta kirab, serta detail kostum dan atribut yang dikenakan, tersimpan cerita panjang tentang perjalanan sebuah peradaban. Kirab menjadi jembatan penghubung antara masa lalu dan masa kini, serta antara dunia nyata dan spiritual.
Bupati Lamongan, Yuhronur Efendi, dalam sambutannya mengatakan bahwa di era modern ini, ketika globalisasi dan teknologi mengancam tradisi lokal, kirab berperan sebagai benteng budaya yang memperkuat identitas dan mengukuhkan ikatan sosial di masyarakat. "Melalui kirab ini, semoga nilai-nilai kebersamaan, gotong royong, dan harmoni dengan alam terus dipupuk dan dilestarikan, serta menjadi warisan tak benda yang sangat berharga," ucapnya.
Ia juga berharap agar festival ini dapat meningkatkan perekonomian masyarakat dan menumbuhkan semangat membangun desa. "Semoga festival ini semakin baik dari tahun ke tahun," harap Bupati Yuhronur.
Bupati yang akrab disapa Pak Yes ini juga mengucapkan terima kasih kepada warga Desa Moronyamplung atas kekompakannya, sehingga acara ini dapat terselenggara dengan sukses. "Kami ucapkan terima kasih kepada warga Desa Moronyamplung atas suksesnya acara ini selama tiga tahun terakhir, dan kami berharap Festival Keleman dapat terus dilanjutkan di tahun-tahun mendatang serta diikuti oleh masyarakat dari luar desa," pungkasnya. (Edy)
Editor : Bledex