Laporan Polisi yang Berbeda Bisa Tetapkan Tersangka, Polsek Simokerto Dipraperadilankan

SURABAYA, METROSURYA.COM - Polsek Simokerto, Polrestabes Surabaya digugat Praperadilan, oleh seorang Ibu Paruh baya di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Permohonan Pra tengah disidangkan sementara tim pengacara Utcok Jimmi Lamhot, SH bersama Usman Effendi,SH selaku kuasa hukum menghadirkan Dr.Sugiharto seorang ahli pidana dari Universitas Bhayangkara.

Gugatan dilayangkan usai menduga adanya ketidakprofesionalan dalam menetapkan seseorang menjadi Tersangka dalam hal administrasi.

Permohonan Praperadilan Bernomor :13/Pid.Pra/2025/PN Sby, dengan perkara permohonan "Sah atau Tidaknya Penetapan Tersangka", Pemohon sebagai Terlapor bernama Fitri Setiyawati, tidak terima ditetapkan tersangka kemudian ia pun menguasakan kasusnya kepada Advokat Utcok Jimmi Lamhot bersama tim pengacara Usman.

Persidangan digelar diruang Tirta 2 dipimpin Hakim tunggal Antyo Harri Susetyo, dihadiri tim penasehat hukum, sedangkan pihak termohon sendiri dihadiri tim kuasanya yang juga seorang anggota Polri bernama Pelita dan Djoko.

Pada sidang agenda pembuktian pihak pemohon Utcok Jimmi mendatangkan Ahli Pidana dari Universitas Bhayangkara Surabaya yakni dosen hukum Dr.Sugiharto.

Ahli yang dalam kapasitasnya memberikan pendapat hukum soal Sah atau Tidaknya seseorang menjadi tersangka.

Namun ada yang menarik dalam perkara ini bahwa pihak kepolisian (Polsek Simokerto) dituding mengeluarkan Laporan Polisi (LP), hingga 5 kali banyaknya sehingga ahli pun mengatakan jika hal itu dianggap Unprofessional.

“Berdasarkan laporan polisi yang menjadikan pemohon praperadilan ini sebagai terlapor di Polsek Simokerto, penyidik tidak pernah sama sekali memanggil pemohon praperadilan ini sebagai saksi,” kata Utcok Jimmi Lamhot. Senin (5/5/2025) diruang sidang tirta 2.

Lagi pengacara Jimmi Lamhot kuasa hukum Fitri mengungkapkan bahwa klien hanya pernah diminta keterangannya atas laporan polisi nomor : LP-B/36/V/2024/Jatim/Restabes Sby/Sek Smkt, tanggal 08 Mei 2024 terkait dugaan Tindak Pidana Penganiayaan Ringan.

“Ahli, menjadi pertanyaan kami, apakah diperbolehkan, tidak pernah dipanggil sebagai saksi, tapi seseorang itu langsung dijadikan status tersangka,” sambungnya kepada ahli pidana.

Kemudian ahli Sugiharto menjelaskan dihadapan hakim.

“Pemeriksaan terlapor dengan status saksi ini dasarnya adalah laporan polisi. Kemudian SPDP itu merupakan suatu rangkaian pemberitahuan atas proses penyidikan yang dilakukan penyidik,” pungkas dosen ubhara menambahkan bahwa berdasarkan putusan mahkamah konstitusi (MK) nomor 21 tahun tahun 2014 tentang penetapan tersangka, sebelum menetapkan seseorang menjadi tersangka, harus didahului dengan pemeriksaan-pemeriksaan dengan status sebagai saksi.

"Apa yang telah dilakukan penyidik haruslah berdasarkan proses yang benar. Laporan polisi dengan dokumen penyidikan lain sebagai administrasi penyidikan atas dugaan tindak pidana yang dilaporkan dikepolisian, tidak boleh berbeda satu dengan yang lain," lanjut pria yang telah puluhan tahun mengajar bidang jurusan hukum.

Lanjut advokat Utcok Jimmi bertanya soal prosedur pemanggilan seseorang sebagai saksi dikepolisian, Dia meminta pendapat ahli apakah dibenarkan orang yang belum pernah menerima surat panggilan sebagai saksi juga belum pernah diperiksa sebagai saksi, namun langsung ditetapkan sebagai tersangka.

"Dasar hukumnya harus benar dulu jika menetapkan seseorang sebagai tersangka yaitu adanya laporan polisi dan adanya surat perintah penyidikan," tegas ahli mengatakan antara laporan polisi dengan surat perintah penyidikan harus benar ada konsekuensi jika tidak benar.

Ditambahkan tim kuasa hukum Fitri (Pemohon) Pengacara Usman Effendi, meminta pendapat ahli hukum soal Visum Et Repertum (VER).

“Ahli dalam sebuah tindak pidana, contohnya tentang dugaan penganiayaan. Apa yang harus dilakukan? Melaporkan dugaan penganiayaan itu terlebih dahulu ke pihak kepolisian ataukah membuat VER terlebih dahulu,” tandas tim pengacara kemudian dijelaskan ahli kalau harus lebih dahulu melaporkan ke polisi.

Terpisah Jimmi Lamhot bersama rekan tim, Diluar persidangan membeberkan peristiwa yang dialami kliennya Fitri kepada wartawan termasuk mekanisme Visum Mandiri serta laporan polisi.

"Perkara ini saya masukkan sebagai praperadilan di PN Surabaya dikarenakan adanya tahapan proses laporan sampai ke pemeriksaan yang tidak sesuai prosedur, Pertama yang dilakukan kesalahan oleh polsek simokerto adalah menerima Visum Et Repertum yang dibuat secara Mandiri oleh Pelapor di RSUD Soewandhie pada tanggal 8 Mei 2024 dan hasil VER tersebut keluar pada tgl 14 Mei 2024, lalu Pelapor tidak langsung melaporkan pada hari itu juga tgl 8 mei 2024 melainkan tgl 11 Mei 2024, 11 mei 2024 polsek simokerto menerima laporan pelapor tersebut," ungkap pengacara Jimmi terheran.

Sambung pria yang selalu berpenampilan necis disetiap datang kepengadilan ia pun menambahkan.

"Padahal aturan hukumnya sesuai dengan Perkapolri No. 6 tahun 2019 tentang manajemen penyidikan, apabila ada pemeriksaan VER harus didahulukan laporan polisi dan korbannya akan di bawa ke rumah sakit untuk Visum berdasarkan surat keterangan yang dikeluarkan oleh petugas negara yaitu kepolisian di bagian SPKT, atas dasar laporan tersebut VER dapat dimintakan oleh kepolisian untuk menjadi dasar bukti terjadinya tindak pidana penganiayaan," tegasnya.

"5 LP yang berbeda ini bukan 5 LP surat tapi ada dalam redaksi yang dibuat oleh polsek simokerto berbeda beda, contoh panggilan undangan didalam panggilan undangan tersebut ada tertuang nomor laporan polisi pada 11 mei 2024, sedangkan didalam surat panggilan tersangka didalam itu tertuang laporan polisi tanggal 8 mei 2024 dan di SP2HP juga berbeda beda, jadi kalau menurut saya ini bukan kesalahan redaksi saja, melainkan ketidakprofesionalan seorang penyidik dalam menjalankan proses penyelidikan dan penyidikan," lagi Utcok kembali mengungkapkan hal lainnya.

Pengacara Jimmi kembali membeberkan atas informasi dari kliennya selaku terlapor yang ditetapkan tersangka.

"Menurut keterangan klien kami, pernah dimintai keterangan saja tapi dalam undangan tersebut dipanggil dengan laporan polisi tanggal 11 Mei 2024 dan nomor LP yang berbeda, secara tiba-tiba klien dipanggil sebagai TSK dalam laporan Polisi 8 Mei 2024 dengan nomor LP yang berbeda juga, jadi pihak polsek simokerto diduga tidak profeaional," terang kuasa hukum.

Selanjutnya, Tim kuasa hukum Fitri Setiyawati, menyampaikan harapannya pada putusan, Agar hakim tunggal Antyo Harri Susetyo bisa terbuka melihat adanya alasan gugatan praper tersebut.

"Harapan saya terhadap Praperadilan ini adalah keterbukaan Hakim yang jelas-jelas mengetahui adanya prosedur yang salah dan sudah dijelaskan oleh Ahli Hukum Pidana Dr.Sugiharto,S.H, M.Hum, bahwa alat bukti Visum Et Repertum yang diajukan secara mandiri oleh Pelapor itu tidak sah, dan secara otomatis Laporan Polisi yang dibuat tanggal 11 Mei 2024 juga tidak sah, tidak ada proses Visum Et Repertum dimintakan dahulu oleh Pelapor tanpa didampingi pihak kepolisian dengan bukti laporan polisi pada tanggal 8 Mei 2024 tersebut, tapi saya yakin disini bahwa Hakim menguasai perkara ini dan dapat menerima dan mengabulkan Permohonan Praperadilan kami diterima untuk seluruhnya," pesan pengacara berharap pada pengadilan untuk mengabulkan permohonan.

Sebagai informasi,, Perkara ini berawal hingga adanya penetapan tersangka yang dilakukan pihak Polsek Simokerto kepada Fitri, Berawal dari laporan Ernawati S.Sos yang tak lain adalah besannya sendiri, Pelapor sebelumnya melakukan Visum Mandiri (Sendiri) di Rumah Sakit Suwandhi Surabaya, Setelah itu pelapor datang ke kantor Polisi dan membuat laporan. (@dex )

Editor : redaksi

Berita Terbaru